recipes88.com – Presiden Filipina, Ferdinand Marcos, telah menyampaikan penolakan resmi untuk menyerahkan mantan Presiden Rodrigo Duterte kepada Mahkamah Pidana Internasional (ICC). Pernyataan ini diberikan sebagai tanggapan terhadap penyelidikan ICC mengenai kampanye anti-narkotika selama masa jabatan Duterte, yang mendapat kritik karena pembunuhan di luar proses hukum terhadap tersangka pelaku narkoba.
Penegasan Kedaulatan Yurisdiksi oleh Filipina
Dalam suatu pertemuan dengan Asosiasi Koresponden Asing Filipina, Presiden Marcos menyatakan bahwa pemerintah Filipina tidak mengakui surat perintah penyidikan dari ICC, mempertahankan bahwa sikap tersebut sejalan dengan prinsip tidak mengakui yurisdiksi ICC di Filipina. Ini mencerminkan komitmen pemerintah Filipina untuk mempertahankan kedaulatan yudisialnya.
Latar Belakang Kampanye Anti-Narkotika dan Penarikan dari ICC
Inisiatif anti-narkotika yang dilancarkan oleh Presiden Duterte pada tahun 2016 mengakibatkan banyak kematian, yang kemudian memicu penyelidikan ICC atas kemungkinan pelanggaran hak asasi manusia. Pada tahun 2019, Duterte menarik Filipina dari keanggotaan ICC, menghentikan kerja sama dengan proses penyelidikan Pengadilan tersebut.
Proses Penyelidikan ICC
Pada September 2021, ICC memulai penyelidikan resmi terhadap strategi anti-narkotika pemerintahan Duterte; namun, ini ditangguhkan sementara dua bulan kemudian menyusul klaim pemerintah Filipina bahwa mereka sedang melakukan tinjauan sendiri terhadap operasi narkoba. Pada Juni 2022, ICC meminta untuk melanjutkan penyelidikan, yang kemudian disetujui oleh hakim pra-persidangan pada Januari 2023.
Upaya Hukum dan Adjudikasi ICC
Menyusul keputusan hakim pra-persidangan, pemerintah Filipina melakukan upaya banding, yang pada akhirnya tidak berhasil dalam kerangka yudisial ICC.
Angka Korban dari Operasi Anti-Narkotika
Angka resmi yang dirilis oleh pemerintah Filipina mencatat lebih dari 6.000 kematian akibat kampanye anti-narkotika di bawah Duterte. Namun, perkiraan ICC menunjukkan angka kematian yang jauh lebih tinggi, berkisar antara 12.000 hingga 30.000 korban.
Sikap resmi pemerintah Filipina dalam menolak yurisdiksi ICC dan menolak untuk mengekstradisi mantan Presiden Duterte menyoroti diskursus penting tentang kedaulatan nasional dibandingkan intervensi yudisial internasional. Situasi ini menyoroti kompleksitas yang melekat dalam menegakkan pertanggungjawaban atas dugaan pelanggaran hak asasi manusia dalam skala internasional.